Kampung Zakat Wunung Jadi Contoh Ekonomi Berkelanjutan di Gunungkidul

Inisiatif Kampung Zakat Wunung: Membangun Ekonomi Berbasis Partisipasi

Program Kampung Zakat diharapkan mampu memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Tujuannya adalah memperkuat kemandirian ekonomi warga, khususnya di kawasan kampung zakat itu sendiri. Hal ini menjadi fokus Kementerian Agama (Kemenag) saat meluncurkan Kampung Zakat Wunung di Kalurahan Wunung, Kapanewon Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag mengembangkan konsep zakat sebagai alat sosial menjadi strategi pembangunan yang berbasis partisipasi masyarakat. Pendekatan ini dilakukan dengan bekerja sama dengan delapan lembaga amil zakat (LAZ) serta pemerintah daerah. Kampung Zakat Wunung ditargetkan menjadi model integrasi antara zakat, wakaf produktif, dan ekonomi lokal di tingkat akar rumput.

"Kampung Zakat bukan hanya tempat menyalurkan bantuan, tapi juga laboratorium sosial untuk membangun ekonomi umat," ujar Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag Waryono Abdul Ghafur kepada wartawan pada Sabtu (25/10). Menurutnya, zakat dan wakaf harus ditempatkan sebagai modal produktif, bukan sekadar kegiatan filantropi sesaat.

Salah satu contoh nyata dari program ini adalah Kampung Alpukat yang dimulai sejak 2022. Kampung tersebut telah menanam lebih dari 2.000 pohon alpukat di lahan warga. Hasilnya tidak hanya berupa panen buah, tetapi juga munculnya produk turunan seperti teh daun alpukat, brownies, dan kain ecoprint dari pewarna alami. Program ini melibatkan kelompok ibu rumah tangga dan pelaku UMKM, sehingga menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat rantai ekonomi lokal.

Dukungan dari berbagai LAZ membuat dampak program semakin luas, mulai dari beasiswa bagi anak yatim hingga pengembangan industri minyak atsiri dari tanaman nilam. Alpukat kini bukan lagi sekadar komoditas, tetapi simbol kemandirian ekonomi warga Wunung, menurut Sudarto, Ketua Kampung Zakat setempat.

Kerja Sama Lembaga dan Partisipasi Warga

Kampung Zakat Wunung disebut sebagai contoh nyata transformasi pengelolaan dana umat di Indonesia. Delapan lembaga seperti LMI, Dompet Dhuafa, Lazis NU, Rumah Yatim, dan Nurul Hayat berkomitmen aktif dalam menggerakkan berbagai sektor, termasuk pertanian, pendidikan, sosial, dan peternakan.

Selain zakat, aspek wakaf produktif juga menjadi bagian penting dari program ini. Kementerian Agama sedang memfasilitasi sertifikasi tanah wakaf di wilayah tersebut agar bisa dikelola secara legal dan berkelanjutan sebagai bagian dari Kota Wakaf Gunungkidul.

Menurut data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), sebanyak 257 keluarga mustahik menjadi sasaran utama program ini. Mereka akan menerima manfaat berupa modal usaha, pelatihan, dan intervensi sosial yang diharapkan dapat mengurangi kerentanan ekonomi rumah tangga.

Tidak hanya soal ekonomi, program ini juga menyoroti masalah sosial seperti meningkatnya angka perceraian akibat tekanan ekonomi. Melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis KUA, masyarakat difasilitasi untuk membangun usaha kecil, baik dalam bentuk uang maupun barang, guna memperkuat ketahanan keluarga.

"Zakat dan wakaf bukan semata soal ibadah, tapi wujud keadilan sosial. Ia harus menumbuhkan solidaritas dan kemandirian," tegas Waryono.

Masa Depan Program Kampung Zakat

Dengan peluncuran Kampung Zakat Wunung, Gunungkidul kini menjadi contoh sukses bagaimana dana sosial keagamaan dapat diubah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pendekatan berbasis kolaborasi lintas lembaga dan partisipasi warga menjadi kunci keberlanjutan program ini.

Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat model serupa akan direplikasi di berbagai daerah lain, menjadikan zakat dan wakaf bukan hanya urusan spiritual, tapi juga strategi nasional mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.