Mengapa Aturan Halal Dianggap Tidak Masuk Akal?

Kita semua pernah merasakannya. Ketika dihadapkan pada sebuah aturan yang terasa rumit dan berbelit-belit, sebuah suara di dalam kepala kita berbisik, "Ini kan seharusnya sederhana, kenapa dibuat jadi susah?" Perasaan inilah yang meledak menjadi fenomena viral melalui video Fathian Pujakesuma yang mempertanyakan logika sertifikasi halal di Indonesia. Pernyataannya terdengar tegas dan sederhana: "Mengapa label halal hanya diberikan untuk produk non-Muslim?"

Video tersebut beresonansi dengan jutaan orang bukan karena ia benar secara teknis, melainkan karena ia menyuarakan emosi yang sangat manusiawi dan semakin umum di era modern — keterasingan akal sehat. Sebuah frustrasi yang muncul ketika logika sederhana sehari-hari kita—yang terasa begitu lurus dan masuk akal—bertabrakan dengan sistem yang tampak kompleks dan tidak intuitif.

Namun, daripada mempersalahkan pihak tertentu, mungkin kita perlu memeriksa lebih dalam: benarkah sistem itu melawan akal sehat, atau justru akal sehat kita yang belum menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah?

Logika Desa vs. Realitas Dunia

Logika yang ditawarkan Fathian — “labeli halal hanya untuk produk non-Muslim” — adalah logika yang sempurna untuk dunia yang sederhana. Bayangkan sebuah desa kecil, di mana semua orang saling mengenal. Anda tahu Bu Siti penjual cilok, Anda tahu dari mana ia membeli tepungnya, dan Anda percaya padanya. Dalam skala seperti itu, Amanah bersifat personal. Akal sehat desa berfungsi sempurna karena rantai kepercayaannya pendek dan transparan.

Masalahnya, kita sudah tidak lagi hidup di desa. Cilok hari ini mungkin menggunakan emulsifier dari Jerman, perisa dari Tiongkok, dan gelatin dari Brasil. Rantai pasoknya membentang lintas negara, melibatkan bahan, proses dan sertifikasi yang tidak mungkin kita lacak sendiri. Di sinilah “logika desa” mulai runtuh—bukan karena salah, tetapi karena konteksnya telah berubah. Dunia kini bukan lagi kumpulan dari para tetangga, tetapi jaringan kompleks global yang menuntut sistem kepercayaan baru.

Lahirnya Kebutuhan Amanah Sistemik

Aturan halal yang tampak “rumit” sejatinya bukan untuk melawan akal sehat, tetapi untuk menggantikan Amanah personal yang lenyap dalam dunia global. Sertifikasi halal adalah bentuk Amanah sistemik — jaring pengaman institusional yang mengambil alih fungsi kepercayaan personal dalam ekosistem ekonomi modern.

Program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) misalnya, adalah eksperimen besar negara untuk membangun sistem kepercayaan massal. Data resmi BPJPH (2024) menunjukkan lebih dari 1,3 juta pelaku usaha mikro telah mendaftar melalui SEHATI dengan skema tanpa biaya. Namun, tingkat pemanfaatannya belum merata: beberapa provinsi, seperti Jawa Timur, baru menyerap sekitar sepertiga dari kuota yang disediakan.

Survei kepuasan yang dilakukan BPJPH–BRIN pada tahun yang sama juga menemukan fakta menarik: mayoritas pelaku usaha mengapresiasi inisiatif SEHATI, tetapi merasa kesulitan memahami alur administrasinya dan minim pendampingan teknis. Dengan kata lain, yang rumit bukanlah niat aturannya, melainkan cara komunikasi dan infrastrukturnya.

Dari Frustrasi Menuju Literasi

Frustrasi terhadap sistem ini bukan sebuah kesalahan. Perkara tersebut adalah sinyal alami dari pikiran yang sedang mencari kejelasan. Namun, bertahan di dalam frustrasi tanpa memahami konteksnya adalah jebakan.

Dalam bahasa behavioral science, Profesor Francesca Gino dari Harvard (dalam studinya yang sahih sebelum skandal datanya) menyebut fenomena ini sebagai “bounded rationality bias” — kecenderungan manusia untuk menganggap solusi sederhana selalu lebih benar, meski konteksnya telah berubah. Ketika kompleksitas meningkat, intuisi kita yang terbiasa dengan dunia kecil sering gagal menyesuaikan diri.

Hal ini sejalan dengan penelitian dari Khan & Dhar (2022) di bidang consumer behavior, yang menunjukkan bahwa ketika individu merasa aturan konsumsi terlalu rumit, mereka cenderung merasionalisasi penolakannya sebagai bentuk “perlawanan moral terhadap birokrasi,” bukan semata karena tidak paham. Inilah yang terjadi di ruang publik kita: resistensi terhadap sertifikasi halal sering kali bukan soal ideologis, tetapi ekspresi frustrasi epistemik — antara logika lokal dan realitas global.

Menuju Empati Halal

Tantangan kita hari ini bukan sekadar memperbanyak label halal, tetapi membangun literasi halal — kemampuan untuk memahami mengapa sistem itu ada. Negara telah membuka jalur gratis seperti SEHATI, tetapi tanpa pendampingan sosial, kebijakan itu akan terasa seperti labirin yang menakutkan. Pelaku usaha tidak butuh dokumen setebal kitab hukum; mereka butuh pendamping yang bisa menjelaskan dengan bahasa pasar, bukan bahasa pasal.

Maka, tugas besar kita bukan menertawakan kebingungan publik, melainkan merancang ulang komunikasi Amanah agar sesuai dengan logika masyarakat. Karena sejatinya, akal sehat tidak pernah musuh dari syariat—ia hanya butuh dijembatani.

Aturan halal bukanlah beban, melainkan perisai. Ia terasa berat hanya karena kita belum terbiasa memaknai kepercayaan dalam skala sistemik. Jika dulu Amanah cukup dijaga oleh Bu Siti dan niat baiknya seperti yang disampaikan Fathian Pujakesuma di dalam video reels, kini Amanah itu harus dijaga oleh lembaga, algoritma, dan jaringan global yang berlapis. Di situlah sertifikasi halal berdiri: bukan sebagai pembatas, tetapi sebagai jembatan antara niat dan kepastian.

Mungkin benar, logika desa terasa lebih hangat. Tapi dunia kini tidak lagi berbatas pagar bambu. Di dunia tanpa batas ini, menjaga yang halal bukan sekadar perkara hati, tetapi juga termasuk perkara sistem.